Get me outta here!

Senin, 24 Maret 2014

Sebelum Lupa




Postingan ini dibuat pada hari Jumat, pukul 12.40, sepulang makan mie ayam yang enak di Taman Siswa sama seorang teman, setelah kuliah Pemodelan Sistem dengan bab Integer Programming yang bikin puyeng sama angka-angkanya, sama grid pointnya, sama lamdanya, sama zetanya, dll. Fiuuh! Oke, abaikan saja.
Mungkin postingan ini bagusnya dikasih judul “Sebelum Lupa” kali ya. Soalnya saya buru-buru buka laptop di kos, sebelum akhirnya lupa sama serangkaian abjad acakadut yang sudah terbayang-bayang di kepala.

Kalau ada yang nanya hal apa yang membuatmu paling bersyukur di dunia jawabannya adalah...semuanyaa. Hehe. Allah sudah berbaik hati ngasih kita anggota tubuh yang lengkap, pikiran yang sehat, keluarga yang bahagia, dan lain sebagainya. Fabiayyi ala irabbikuma tukadzziban. Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan.
Salah satu hal dari sekian banyak hal yang paling saya syukuri, di antaranya adalah lingkungan tempat saya bertumbuh. Mulai dari lingkungan keluarga tempat saya mulai dibesarkan sampai ke lingkungan pertemanan yang secara nggak langsung banyak berpengaruh juga membentuk kepribadian saya. Saya amat sangat bersyukur dengan anugrah Allah yang satu ini.

Saya percaya pribadi kedua orangtua yang baik pasti akan menurun kepada anaknya. Kalo anaknya kurang baik yaa mungkin ada yang salah sama kedua orangtuanya. Hehe. Sekarang ini segala hal di dunia jadi serba “berbahaya”, artinya segala sesuatu jadi serba nggak pasti, bener-nggak benernya, baik-buruknya. Nah loh? Udah bukan lagi “membiasakan yang benar” tapi yang ada malah “membenarkan yang biasa”
Menurut saya, yang paling bisa ‘menolong’ kita dari hal-hal yang salah tadi ya dari dalam kita sendiri. Kalo benteng pertahanan dari dalam udah kokoh, insyaAllah nggak perlu khawatir sama berbagai ‘gempuran’ dari luar, yang mau, nggak mau ya memang harus dihadapi. Jadi, kalo menurut saya kunci dari semuanya adalah pondasi awal yang dibentuk orangtua kepada si anak. Oke, nampaknya ini terlalu abstrak.
 Jadi gini, sebenernya saya agak heran juga sama orangtua saya, yang menurut saya terkadang bisa jadi amat sangat overprotected terhadap anak-anaknya, tiba-tiba bisa dengan sangat senang hati memberikan ijin kepada saya dan adik untuk melanjutkan kuliah di Jogja. Yes, di Jogja yang terkenal dengan sebutan kota pelajar tapi sekarang juga jadi terkenal dengan berita-berita yang kurang mengenakkan karena pergaulannya yang katanya ‘kurang baik’
Okelah, di sini saya melanjutkan kuliah master dengan usia yang bisa dibilang sudah ‘cukup dewasa’ Haha. Terlebih pada akhirnya di kota ini saya tinggal berdua bersama adik.
Tapi buat adik saya yang masih S1? Yang remaja baru aja lulus SMA? Yang masih polos dan lugu begitu? Diijinkan tinggal sendiri di sini? Haha. Nggak banyak orangtua temen-temen saya yang mengizinkan anaknya melanjutkan pendidikan di Jogja dengan alasan ‘kabar yang nggak enak tentang Jogja’
Jawabannya mungkin adalah kedua orangtua saya sudah percaya dan merasa pondasi yang dibangun pada diri saya dan adik sudah cukup kuat sebagai tameng untuk mengatasi segala aura negatif tadi, hehe. Toh di manapun itu, kalo pondasinya udah nggak beres, bakal gampang roboh juga.
Ini nih yang buat saya bersyukur. Saya dan adik-adik saya nggak pernah merasa dibatasi kalo udah soal pendidikan, meskipun kami semua perempuan. Hahaha.
Saya inget waktu jaman SMP-SMA dulu, kalau saya nunjukin nilai ulangan Fisika atau Matematika yang dapet 40 ke Ibu, Ibu cuma ketawa-ketawa doang. Saya nggak pernah dimarahin atau diomelin soal nilai guys! Padahal di luar sana banyak sekali anak-anak yang kena marah gara-gara nilainya jeblok ;p Waktu saya nanya kenapa kok Ibu nggak ngomel-ngomel, jawabannya adalah “Buat apa marah-marah? Kamu kan udah besar, udah tahu apa yang jadi kewajiban. Belajar itu buat diri kamu sendiri, kalau pinter yang untung kan kamu, kalau nilainya jelek yang rugi juga kamu”
Jleeb! dan memang benar, nyatanya tanpa disuruh, dimarahin atau diomelin, saya tetep belajar. See? Dari situ saya sadar, motivasi yang paling besar dan utama itu datangnya dari dalam diri sendiri.
Waktu mau masuk kuliah, saya juga nggak dipaksa untuk mengikuti jejak Ibu atau Bapak. Walaupun sebenernya ada sedikit saran-saran, ‘kalau masuk di sini lebih baik..’ hahaha. Tapi tetap keputusan akhir dikembalikan ke saya, mereka percaya penuh dengan pilihan saya karena  nantinya saya yang akan menjalani. Toh, selama ini orangtua pasti mengajarkan hal yang baik, jadi jalan yang saya pilih pun pasti nggak akan ‘aneh-aneh’
Lulus dari S1 pun saya kembali dihadapkan pada pilihan tentang jalan selanjutnya yang mau saya tempuh. Dan lagi-lagi..kata terserah yang saya dapatkan (tentunya dengan nasihat-nasihat tambahan tentang kemungkinan yang bisa terjadi dengan keputusan yang saya ambil nantinya), mau langsung kerja atau lanjut kuliah lagi. Kenapa? Yaah karena percaya itu. Percaya pada pondasi kebaikan yang sudah dibangun di dalam diri anak-anaknya. Jadi sebenernya secara nggak langsung apa yang ada dalam diri saya, disadari atau nggak, pasti nggak jauh beda sama orangtua saya. Sepele sih sebenernya. Orang-orang juga pasti udah tahu, anak sama orangtua biasanya nggak jauh beda. Hehe
Sekarang di rumah jadi sepi, cuma Bapak, Ibu, sama adik saya yang paling kecil. Padahal dulu waktu saya sama adik-adik saya masih kecil, masih suka piknik bareng, jalan-jalan bareng. Sekarang boro-boro deh..nyesuain waktu aja susah. Sibuk sendiri-sendiri. Hufft. Tiba-tiba saya jadi kepikiran di dalam salah satu buku yang pernah saya baca, ‘awalnya serumah berdua, akhirnya juga akan kembali serumah berdua, ketika anak-anak mulai membangun kehidupannya sendiri’ Uurgggh..cediiiih :(
Hiks. Udah ah..saya jadi sensitif nih kalau ngebahas soal keluarga. Let me go home, please. Hehe
Tulisan ini dari awal sampai akhir mengalir seadanya. Padahal awalnya seharusnya nggak cuma bahas soal keluarga..tapi kok jadinya udah panjang gini yah. Yasudahlah, dilanjutkan next posting saja kalau nggak lupa (dan nggak males).

Sebelum lupa atau sengaja melupa, kembalilah ingat bersyukur tentang hujan nikmat yang diberikan Tuhan.
Yok semangat menuntut ilmu lagi, karena yang tidak begitu termasuk yang merugi.

Yogyakarta, 21 Maret 2014

2 komentar:

atika mengatakan...

mbak boleh tanya2 di facebook ndak ? trims

Wandhansari Sekar mengatakan...

maaf, baru buka blog. boleh2 aja mbak :)