Get me outta here!

Senin, 17 Agustus 2015

Tentang satu frekuensi.


Garputala akan bergetar manakala menyerap frekuensi yang sama. Dan garputala itu juga akan menggetarkan garputala di sekitarnya, bila ia menangkap gelombang getaran yang identik dengan dirinya. Tetapi bila gelombang yang digetarkan tidak pada frekuensi sama, garputala tersebut tidak bergetar dan juga tidak menggetarkan garputala yang lainnya. Begitu juga dalam hidup ini. Pergaulan kita dengan orang lain, juga menganut hukum seperti itu. Hukum frekuensi yang sama (amarudins.blogspot.com)
X : "Hahahaha, kita emang sefrekuensi. Kalo gitu namanya jodoh bukan ya?
Y : "Hahahaha. Entahlah. Frekuensi itu lama-lama bisa disesuaiin gak sih?"
X : "Frekuensi bisa disesuaiin kalo salah satu ada yang mau menyesuaikan"
Y : "Harus ada yg ngalah berarti?"
X : "Pernah denger, kalo mau berdua itu harus sama-sama kuat? Bukan yang saling menguatkan?"
Y : "Itu kata bapaknya Saka"
X : "Menurutmu, kamu setuju mana? Saling menguatkan atau sama-sama kuat?"
Y : "Kuat dan kuat jadinya kuat kuadrat, jadi kekuatan super. Hahaha. Bedanya apa saling menguatkan sama sama-sama kuat? Kalo dua-duanya udah kuat juga bisa saling menguatkan"
X : "Kalo dua duanya sama kuat belum tentu bisa saling menguatkan"
Y : "Maksudnya? Malah jadi pada mau menang sendiri?"
X : ''Iya. Bisa jadi"
Y : "Itu tergantung kuatnya kayak gimana"
X : "Karena mereka yang kuat memiliki ego yang kuat, yang berpikir ke-aku-an yang kuat. Tapi mereka yang lebih kuat justru mau mengakui kekalahan. Hahahaha"
Y : "Kalo sama-sama mau menang sendiri itu kelemahan bukan?"
X : " Iya, dalam arti lain"
Y : "Kuat yg baik itu yang sama-sama kuat dan bisa saling menguatkan"
X : "Aku setuju. Nah, itu dia kunci buat bisa sefrekuensi. Kadang tiap orang frekuensinya bisa berubah"
Y : "Ah kamu. Sok-sokan setuju aja. Padahal yang begitu prakteknya susah. Hahahaha. Maksudnya bisa sefrekuensi itu kalo ga saling menang sendiri gitu? Tapi ada juga orang yang sudah berusaha menyesuaikan frekuensi, nggak menang sendiri, tapi tetep endingnya gak bisa sefrekuensi juga"
X : "Hahahaha. Iya prakteknya susah. Kalo sama-sama berusaha InsyaAllah terasa lebih mudah. Nah, kira-kira kenapa udah kaya gitu tapi belum bisa sefrekuensi?"
Y : "ya karena...memang nggak bisa. Hahahaha. Entahlah"
X : "Hahahaha, karena tinggi frekuensinya terlalu jauh. Kaya nada do sama nada si. Ga bisa ngejar beda frekuensinya"

Ini tentang frekuensi. Iya. Frekuensi yang sering disebut-sebut dalam mata pelajaran Fisika di kelas, bab getaran dan gelombang. Bertahun -tahun lalu saya pernah ngobrol sama teman baik, ala-ala anak SMA gitu. Katanya orang baik itu belum tentu cocok sama kita, dalam konteks ketika kamu ingin dekat dengan seseorang. Walaupun begitu, mungkin saja dia cocok dengan orang lain, atau dengan kata lain, sama kamu nggak nyambung, sama orang lain nyambung-nyambung aja. Hahaha. In the end yang saya tangkap pada saat itu adalah yang baik belum tentu cocok sama kamu. Alasannya saya nggak tahu kenapa.
Tapi sekarang saya tahu jawabannya. Karena tidak satu frekuensi yang sama. Jadi hati garputala nggak bergetar.
Mungkin nggak senua orang bisa saling menyesuaikan untuk jadi satu frekuensi. After many times run then you still have no idea, you often stuck on conversation. Sudah mencoba tapi tetap tak bisa satu frekuensi, bisa saja terjadi. Hahaha

Terus beberapa waktu lalu, sebenernya udah agak lama juga sih, saya nemu artikel dengan isi yang mirip-mirip perkara di atas.
Ketika kamu berada dalam frekuensi yang sama dengan seseorang, akan menjadi lebih mudah bagimu untuk dekat dengan orang tersebut. Akan muncul rasa cenderung nyaman, begitu sebaliknya.
Sedikit kutipan dari artikel yang ditulis Ustadz Faris Khairul Anam :

Perhatikan, Nabi tidak mengatakan Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik. Namun Nabi mengatakan, Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya.
Apa bedanya?
Pernyataan pertama dan itu tidak diucapkan Nabi bermakna, orangtua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua yang diucapkan Nabi memberikan pengertian pada kita bahwa orangtua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak. (artikel lengkap di sini)
Yang dimaksud dengan lelaki shalih tentunya kriterianya ya begitu, agamanya baik, akhlaknya baik, dan lain sebagainya. Antara satu orang dengan yang lainnya nggak akan beda jauh kasih penilaian untuk tanda-tanda lelaki ini ketika mereka sudah cukup mengenalnya. Tapi, ternyata itu saja nggak cukup. Katanya lelaki shalih belum tentu menjadi suami shalih. Bergantung bagaimana ridho terhadap agama dan perangainya, sejauh apa kita bisa menerima segala yang ada dalam dirinya.
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Saya tandaskan, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagimu. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan untukmu.
Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan). Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya.
Jadi, sejauh apa kita bisa menerima segala yang ada dalam dirinya berarti sebenernya melihat tingkat kecocokan tadi. Agak subjektif sih, karena setiap orang punya karakter sendiri-sendiri, punya pemikiran sendiri-sendiri, punya frekuensi sendiri-sendiri, yang akhirnya cocoknya sama siapa beda-beda juga. Hahaha. Mungkin bisa jadi begini hubungannya, frekuensi sama=tingkat kecocokan tinggi=tingkat toleransi tinggi.
Oh ya, tentang kecocokan pun menurut saya bukan yang saling punya banyak persamaan. Nggak seru juga kalo pasangan selalu setuju atau iya-iya aja. Bosen kan, nggak ada bahan yang bisa diributin didiskusikan untuk dicari jalan tengahnya bersama.
Kecocokan itu yang bisa jadi satu frekuensi dan saling menyesuaikan, kamu merasa nyaman, tanpa salah satu dari kalian merasa terbebani. Bahkan ketika beda pendapatpun justru kalian menjadi lebih kuat, karena satu frekuensi yang sama menjadi lebih mudah untuk saling mengisi kekuatan satu sama lain *ini kayaknya nggak nyambung, tapi biarin*
Aduh banyak maunya eijke. Iya, memang. Hahahaha

Beberapa mungkin termasuk tipikal orang yang antipati sama hal-hal baru, mungkin ragu-ragu, terlalu banyak pertimbangan, banyak ketidakyakinan, beberapa bilang picky, terlalu banyak tapi, dan lain sebagainya. Ada hal-hal yang sulit dijelaskan, soal kecocokan. Jadi, hal-hal seperti itu boleh nggak dijawab kalau memang belum nemu yang satu frekuensi?