Get me outta here!

Selasa, 20 September 2011

Biar Dia Redup Dahulu


Biar kini elang menatap bias wajahnya
Menyulut percik pesona yang terjaga
Biar redup itu mati seutuhnya
Karna kelak kembali terang oleh ronanya
Tanpa bekas lalu, tanpa bekas lalu

Gertak malam memulai ceritanya
Menghabiskan waktu,hingga fajar beranjak menjemputnya
Ia tak menyanggah lagi,
Ketika sekilas dalam sang bayu
Melangkah dgn anggunnya,
Tergiring di sudut tak tercapai
Karna dia mulai percaya,dia percaya

Jaga cahanyanya, jangan sampai redup kembali
19092011

Sabtu, 17 September 2011

Saya Pernah Gagal tapi Tidak Gagal dalam Menyelesaikannya


Tiba-tiba saya ingat kejadian yang bener-bener ga bisa saya lupain sekitar 3 tahun lalu.

Yaap kejadian yang berkesan dan menoreh luka cukup dalam bagi saya. Saat itu saya merasa GAGAL saudara-saudara. Yaak GAGAL! Entahlah mungkin terasa berlebihan, tapi bagi saya, saat itu saya merasa gagal sebagai seorang siswa, sebagai seorang anak, dan yang paling nancep di ati, gagal sebagai diri sendiri yang seharusnya bisa mendapatkan apa yang telah saya cita-citakan sejak lama. Saya gagal masuk ke universitas yang saya inginkan. Oke. saya tahu bukan cuma saya yang pernah mengalaminya, tapi mungkin sebagian besar mahasiswa pernah mengalaminya. Tapi bagi saya, hingga saat ini itu adalah kegagalan terbesar saya. Saya sudah merancang dan menata mimpi saya itu sejak lama. Bahkan sebelum saya mengenal SMA.

Saya membangunnya bukan tanpa doa dan usaha, 6 hari dalam seminggu saya belajar di sekolah belum cukup, sore pulang sekolah belajar di bimbel. Cukup sampai di situ? Tentu aja nggak..tiap hari minggu pun tempat bimbel saya jabanin buat ikut intensif. Persetujuan tempat kuliah dari ortu? Udah acc. That’s so amazing. Saya nggak nyangka bakal dapet ijin itu, mengingat “saklek”nya ortu saya. Fasilitas dari ortu? Itu jg udah saya dapet, buku-buku soal snmptn dan um saya punya komplit. Doa dikencengin, solat tahajud tiap malem meminta kemudahan. Tiap try out selalu selalu dan selalu berusaha naikin passing grade. Dan saat try out yang terakhir, passing grade yang berhasil saya dapet jauh di atas persyaratan. Alhamdulillah.

pas saatnya UM beneran tiba, jeng jeng...gatau kenapa rasanya buyar semua, sebenernya ga buyar sih, tp saya emang ga bisa ngerjain, entah kenapa. Pasrah. Dan hasilnya memang..GAGAL..

Terus saya nyerah gitu aja? Nggak. Saya masih keukeh ikutan SNMPTN, padahal kuota yang diterima lewat jalur itu ga bakal lebih dari 10 orang. Dan pada saat itu, status saya sudah diterima di universitas lain yang seharusnya saya dilarang buat ikut-ikutan snmptn segala. Oke. Mungkin kelihatannya serakah atau apalah. Tapi gimana sih kalau mimpi yang kita bangun susah payah bertahun-tahun harus kandas seketika dalam sehari, setelah proses lama yang kita lalui dan tiba-tiba harus kita relakan mereka pergi. Rasanya tu yaa, kayak kelempar dari atas pesawat, guling-guling dari atas bukit, trus kelelep dalem samudra hindia, dan akhirnya masuk perut hiu. Yang paling buat saya nyesel kenapa saya nggak bisa padahal dulu ortu saya berhasil dengan fasilitas yang “seadanya”.

Apakah akhirnya saya diterima di universitas yang saya inginkan? TIDAK. Walaupun mungkin saya merasa soal ujian snmptn yang diberikan dapat saya kerjakan dengan baik.

Saya inget, waktu perkenalan di kelas conversation LIA. Seorang teman bertanya setelah saya memperkenalkan diri dan menyebutkan jurusan dan universitas tempat saya belajar, "is it(kuliah saya) your first choice?". Dan saya menjawab "actually. I want to continue my study in *** university. I joined UM, but the university rejected me. Then i joined snmptn, and the university still rejected me for the second times". Pengakuan diri yang polos bukan?

Pada awalnya memang saya belum ikhlas untuk melepas cita-cita saya. Tapi sekarang saya bersyukur, saya bersyukur dengan poin-poin kecil yang saya miliki yang membentuk sebuah keberhasilan besar bagi saya. Saya pernah berpikir, mungkin kalau saat itu saya berhasil mendapatkan apa yang saya cita-citakan, saya nggak ada di sini, mungkin saya ga bakal tamat kelas conversation, mungkin saya ga akan pernah jadi pengurus himpunan, mungkin saya ga akan jadi asisten lab, mungkin nilai-nilai saya ga sebagus saat saya di sini, atau mungkin-mungkin yang lainnya.

Mungkin saya memang gagal memetik hasil yang saya inginkan “manis rasanya”. Saya pernah gagal, tapi bukan berarti saya gagal dalam perjuangan yang saya lakukan. Karena saya berhasil menyelesaikan proses pencapaian mimpi saya bukan dengan mengakhirinya di tengah jalan. Dan akhirnya jika impian saya yang dulu tidak diijinkanNya, saya sudah siap dengan impian-impian saya selanjutnya.

In memorial

agustus 2008