Get me outta here!

Sabtu, 01 November 2014

Bapak.

Bapak satu-satunya lelaki di keluarga. Yang benerin genteng, benerin pompa air, ngecat pagar, walaupun kadang kami anak-anak perempuannya juga diminta turun tangan.
Sifat Bapak yang keras kepala menurun ke saya. Bapak yang over protected, sempet nggak ngizinin anak perempuannya untuk mengendarai motor sendiri waktu SMA, karena jarak rumah ke SMA cukup jauh dengan medan jalan yang cukup ramai dan cukup bahaya menurutnya. Saya yang keras kepala keukeuh mau bawa motor sendiri, dengan seribu satu alasan udah males naik bus. Saya nekat bawa motor, walaupun tanpa SIM. Sekali dua kali, entah meski awalnya ngomel dalam hati, Bapak luluh juga mengizinkan anak perempuannya mengendarai motor sendiri. Bahkan dibantunya untuk mendapatkan surat izin mengemudi.
Keras kepala kami juga sama kompaknya ketika saya dinyatakan nggak lolos pada seleksi UM UGM tahun 2008 silam. Ibu bilang, memang bukan rezekinya di situ. Toh saya juga sudah diterima di universitas negeri lain. tapi saya sama bapak nggak goyah pendirian untuk tetap menjajal SNMPTN. Bapak yang nganter saya daftar SNMPTN jauh-jauh sampai Jogja, berhubung kemungkinan besar saya bakal kena blacklist kalo daftar di Semarang. Bapak juga yang nganter saya buat tes di Jogja dua hari berturut-turut. Setelah pengumuman tes, saya dinyatakan nggak lolos. Saya kecewa. Bapak juga.
Bapak itu galak. Beberapa teman pernah bilang begitu. Saya mengakuinya. Teman-teman lelaki saya yang datang ke rumah akan diinterogasinya habis-habisan. Saya tahu, semua karena Bapak nggak mau saya bergaul sembarangan.
Bapak nggak pernah marah dengan ngomel-ngomel secara langsung. Bapak cukup menunjukkan marahnya dengan diam dan saya akan segera tahu ada kemarahan di matanya. Seringnya bapak akan laporan ke ibu kalau mau menegur saya. Seperti ketika Ibu bilang, Bapak nggak suka saya deket sama seorang temen lelaki waktu SMA. Entah. Saya juga nggak tahu kenapa Bapak nggak bilang langsung ke saya.
Bapak itu kolot. Masih nggak percaya sama ATM, dan yang paling bikin kesel suka nggak percaya sama anaknya sendiri. Padahal saya nggak mungkin macem-macem. Saya jadi sering membandingkan aturan Bapak dengan orangtua teman-teman lainnya, yang lebih longgar, nggak strict, dan lebih bisa menyesuaikan keadaan dengan zaman sekarang.
Bapak nggak suka anak-anaknya sering main keluar rumah. Makanya banyak yang bilang saya anak kompleks, anak rumahan dan lain sebagainya. Jam main saya dan saudara-saudara saya sangat terbatas, bahkan sampai di usia sekarang. Jaman SMA, maghrib belum sampai di rumah, handphone saya udah bunyi terus ditelponin. Padahal udah izin juga buat ngerjain tugas. Nonton pensi di SMA sendiri pun, paling lama jam 10 udah dijemput, padahal artis utama belum keluar -_-
Dasar saya keras kepala, tetep aja saya masih suka pulang nggak sesuai jadwal. Tapi semakin ke sini, entah awalnya karena biasa terpaksa mengikuti aturan atau bagaimana, saya memang nggak suka keluar malam.
Bapak yang paling berat melepas saya untuk kerja di luar kota. Bapak yang paling mendukung saya untuk melanjutkan sekolah lagi. Beda dengan Ibu yang demokratis, Bapak lebih menginginkan saya untuk following his own path, kasarnya otoriter. Bapak lebih suka saya mengajar sepertinya. Karena saya wanita, karena bapak sudah merasakan kerja di swasta. Lagi-lagi saya keras kepala, saya memilih merasakan kerasnya bekerja di perusahaan swasta. Tapi nyatanya saya kalah, seiring berjalannya waktu saya mulai menyadari maksud Bapak.
Di antara semua saudara, saya yang paling nggak dekat dengan Bapak. Mungkin karena di antara mereka saya yang paling bandel. Kian bertambah usia, semakin jarang komunikasi saya dengan Bapak. Nggak lagi ada jalan-jalan bareng, nggak lagi ada cerita yang diawali dengan kalimat 'dulu itu', nggak lagi ada cerita tentang perjuangan sekolah Bapak dulu. Saya nggak tahu kenapa. Seringnya sekarang saya justru berdebat dengan Bapak.
Saya memang sering melanggar aturan Bapak, saya sering menggerutu dengan pemikiran Bapak yang menurut saya nggak masuk akal dan kuno, saya suka nggak nurut apa kata Bapak. Tapi saya sayang Bapak. Saya bangga sama perjuangan Bapak dulu yang dari bawah banget.
Saya sedih melihat Bapak sakit. Saya sedih melihat Bapak kepayahan melakukan apa-apa. Saya.. ah saya nggak kuat nulis banyak-banyak tentang Bapak.
Lekas sembuh Bapak. Kami rindu.