Bapak satu-satunya lelaki di
keluarga. Yang benerin genteng, benerin pompa air, ngecat pagar, walaupun
kadang kami anak-anak perempuannya juga diminta turun tangan.
Sifat Bapak yang keras kepala menurun ke saya. Bapak yang over protected, sempet nggak ngizinin
anak perempuannya untuk mengendarai motor sendiri waktu SMA, karena jarak rumah
ke SMA cukup jauh dengan medan jalan yang cukup ramai dan cukup bahaya
menurutnya. Saya yang keras kepala keukeuh
mau bawa motor sendiri, dengan seribu satu alasan udah males naik bus. Saya
nekat bawa motor, walaupun tanpa SIM. Sekali dua kali, entah meski awalnya
ngomel dalam hati, Bapak luluh juga mengizinkan anak perempuannya mengendarai
motor sendiri. Bahkan dibantunya untuk mendapatkan surat izin mengemudi.
Keras kepala kami juga sama
kompaknya ketika saya dinyatakan nggak lolos pada seleksi UM UGM tahun 2008
silam. Ibu bilang, memang bukan rezekinya di situ. Toh saya juga sudah diterima
di universitas negeri lain. tapi saya sama bapak nggak goyah pendirian untuk
tetap menjajal SNMPTN. Bapak yang nganter saya daftar SNMPTN jauh-jauh sampai Jogja,
berhubung kemungkinan besar saya bakal kena blacklist
kalo daftar di Semarang. Bapak juga yang nganter saya buat tes di Jogja dua
hari berturut-turut. Setelah pengumuman tes, saya dinyatakan nggak lolos. Saya
kecewa. Bapak juga.
Bapak itu galak. Beberapa teman
pernah bilang begitu. Saya mengakuinya. Teman-teman lelaki saya yang datang ke
rumah akan diinterogasinya habis-habisan. Saya tahu, semua karena Bapak nggak
mau saya bergaul sembarangan.
Bapak nggak pernah marah dengan ngomel-ngomel secara
langsung. Bapak cukup menunjukkan marahnya dengan diam dan saya akan segera tahu
ada kemarahan di matanya. Seringnya bapak akan laporan ke ibu kalau mau menegur
saya. Seperti ketika Ibu bilang, Bapak nggak suka saya deket sama seorang temen
lelaki waktu SMA. Entah. Saya juga nggak tahu kenapa Bapak nggak bilang langsung
ke saya.
Bapak itu kolot. Masih nggak
percaya sama ATM, dan yang paling bikin kesel suka nggak percaya sama anaknya
sendiri. Padahal saya nggak mungkin macem-macem. Saya jadi sering membandingkan
aturan Bapak dengan orangtua teman-teman lainnya, yang lebih longgar, nggak strict, dan lebih bisa menyesuaikan keadaan
dengan zaman sekarang.
Bapak nggak suka anak-anaknya sering main keluar rumah. Makanya
banyak yang bilang saya anak kompleks, anak rumahan dan lain sebagainya. Jam
main saya dan saudara-saudara saya sangat terbatas, bahkan sampai di usia
sekarang. Jaman SMA, maghrib belum sampai di rumah, handphone saya udah bunyi terus ditelponin. Padahal udah izin juga
buat ngerjain tugas. Nonton pensi di SMA sendiri pun, paling lama jam 10 udah
dijemput, padahal artis utama belum keluar -_-
Dasar saya keras kepala, tetep aja saya masih suka pulang nggak
sesuai jadwal. Tapi semakin ke sini, entah awalnya karena biasa terpaksa
mengikuti aturan atau bagaimana, saya memang nggak suka keluar malam.
Bapak yang paling berat melepas
saya untuk kerja di luar kota. Bapak yang paling mendukung saya untuk
melanjutkan sekolah lagi. Beda dengan Ibu yang demokratis, Bapak lebih
menginginkan saya untuk following his own
path, kasarnya otoriter. Bapak lebih suka saya mengajar sepertinya. Karena
saya wanita, karena bapak sudah merasakan kerja di swasta. Lagi-lagi saya keras
kepala, saya memilih merasakan kerasnya bekerja di perusahaan swasta. Tapi
nyatanya saya kalah, seiring berjalannya waktu saya mulai menyadari maksud Bapak.
Di antara semua saudara, saya yang
paling nggak dekat dengan Bapak. Mungkin karena di antara mereka saya yang paling
bandel. Kian bertambah usia, semakin jarang komunikasi saya dengan Bapak. Nggak
lagi ada jalan-jalan bareng, nggak lagi ada cerita yang diawali dengan kalimat
'dulu itu', nggak lagi ada cerita tentang perjuangan sekolah Bapak dulu. Saya
nggak tahu kenapa. Seringnya sekarang saya justru berdebat dengan Bapak.
Saya memang sering melanggar
aturan Bapak, saya sering menggerutu dengan pemikiran Bapak yang menurut saya
nggak masuk akal dan kuno, saya suka nggak nurut apa kata Bapak. Tapi saya
sayang Bapak. Saya bangga sama perjuangan Bapak dulu yang dari bawah banget.
Saya sedih melihat Bapak sakit. Saya sedih melihat Bapak
kepayahan melakukan apa-apa. Saya.. ah saya nggak kuat nulis banyak-banyak
tentang Bapak.
Lekas sembuh Bapak. Kami rindu.
2 komentar:
Cepet sembuh ya buat bapakmu, wan :)
halo, terimakasih ya :)
Posting Komentar