Kamu dengan tas di punggungmu berjalan menghampiri
saya dengan sedikit terengah-engah, mengagetkan saya tiba-tiba di tengah
keasikan bengong sendirian. “Boleh duduk sini?” tanyamu. Saya yang masih dalam
keadaan terkejut nggak percaya, cuma mengangguk saja. Kamu duduk di sebelah
saya, lalu meletakkan tas punggungmu di bawah. Saya mengamatimu diam-diam.
Pagi-pagi udah ngos-ngosan begitu, habis ngapain ya? lari? sepertinya buru-buru
sekali, batin saya.
Jeda beberapa menit kemudian bus berjalan, saya
diam, kamu juga. Saya melempar pandangan ke luar jendela seperti biasa. Entah
apa yang ada di pikiranmu saat itu. Kalo yang ada di pikiran saya sih, kok bisa
ya jadi pulang bareng, jadi bisa se-bis, jadi bisa sebangku? Padahal nggak lagi
janjian juga. Beberapa hari lalu saya memang sempat bilang, “aku pulang Jogja
lagi besok selasa, mau bla bla bla..”, lalu kamu menimpalinya dengan “aku juga
pulang Jogja hari selasa, soalnya mau bla bla bla”. Itu beberapa hari lalu.
Beberapa hari lalu kami sepakat pulang hari Selasa, tapi nggak janjian juga jam
berapa. Beberapa hari lalu sebelum akhirnya ada awkward moment antara saya dan kamu, setelah kalimat penolakan yang
saya utarakan beberapa hari lalu juga.
“Aku belum
selesai sama diriku sendiri” kata saya, yang sekaligus jadi tameng, saya nggak
yakin kamu beneran suka sama saya, kamu mau jadiin saya pelarian ya? hah? maaf
ya, saya nggak akan tertipu. Saya tahu kamu baik, tapi saya juga tahu berpindah
ke lain hati nggak pernah semudah itu. Entahlah, menurut saya kesannya
buru-buru. Lalu tiba-tiba kami bertemu dalam perjalanan yang sama kembali. Di
hari Senin. Ya, mendadak saya harus kembali ke Jogja lebih cepat satu hari
karena keperluan tiba-tiba. Lalu saya
bertemu denganmu dalam bus yang sama, di bangku yang bersebelahan pula.
“Katanya pulang hari Selasa, kok jadi Senin?” tanya
saya buka suara. Kamu tersenyum, “Ada perlu tiba-tiba,” katanya. “Oh,” kata
saya menimpali sambil berpikir keras kenapa kebetulan bisa terjadi.
Beberapa waktu kemudian setelah keadaan di antara
kami membaik, dia bercerita, “Sebenernya waktu kita tiba-tiba bisa bareng
pulang ke Jogja tanpa janjian pas itu..awalnya aku nggak bener-bener ada
keperluan tiba-tiba. Walaupun nggak tahu kenapa, pas di tengah jalan dapet
kabar ternyata aku memang harus pulang hari itu, jadi beneran ada perlu
tiba-tiba,” katamu setengah tertawa. “Jadi sebenernya, malam sebelumnya aku
mimpi kamu nggak jadi pulang hari Selasa, tapi hari Senin jam 7 pagi. Akhirnya
buru-buru bangun dan ngejar bus jam 7 pagi sambil lari-lari,” katamu serius.
Saya diam saja, antara percaya nggak percaya.
========================================================================
Saya nggak tahu kenapa, tapi seringnya saya
mengalami hal-hal yang berasa kebetulan banget sama kamu. Saya tahu, nggak ada
yang namanya kebetulan..jalannya begini ya karena memang sudah diatur sama yang
di atas. Bahkan jauh sebelum kamu menyadari perasaanmu, “kebetulan” antara saya
dan kamu sudah beberapa kali terjadi. Ketika akhir tahun lalu Bapak sering
bolak-balik masuk rumah sakit, entah kenapa selalu ada momen kamu menghubungi
saya dan menanyakan keadaan Bapak di waktu Bapak memang sedang opname. Padahal pada saat itu kami nggak
dekat, nggak dekat banget malah. Nggak pernah ada basa-basi, menghubungi kalau
memang ada keperluan penting saja. Tapi tidak pada saat itu. Kamu selalu
menyempatkan datang menjenguk Bapak. Saya nggak curiga. Kamu juga (mungkin)
belum ada rasa apa-apa.
========================================================================
“Pake handphoneku dulu aja, nggak aku pake. Paket
internetnya diisi provider lain,
sinyalmu di kos kan jelek banget. Biar gampang dihubungin. Hehehe,” katamu
suatu hari. “Enggak mau,” kata saya ketus. Handphone
saya masih belum dual sim, dan sinyal providernya
ngehe banget di kos. Bikin saya susah dihubungin. Padahal pake yang sinyalnya
lancar aja saya slow response banget,
pfffft. Saya masih dingin ke kamu pada saat itu, beberapa wasapp masih diread saja,
beberapa dibalas dengan emote jempol
saja, beberapa di-endchat, beberapa
dibalas berjam-jam kemudian *kibasrambut* Beberapa waktu kemudian handphone saya mati mendadak, purna
sudah tugas si handphone sebagai
penghubung saya dengan informasi-informasi dunia luar *huftbete*akukenabatunya*
Akhirnya saya terima tawaran kamu untuk memakai handphonemu sementara, berhubung saya nggak mau ketinggalan
info-info penting. Dan eurekaaa..dari
situ saya merasa menjadi beberapa langkah lebih dekat dengan kamu. Kenapa? saya
juga nggak tahu.
========================================================================
“aku tanya ke ibu dulu ya,” kata saya ketika kamu
bercerita panjang lebar tentang perasaanmu setelah sekian kali. “iya, ridho
Allah swt, ridho orangtua,” balasmu. Dan...saya lupa, saya nggak benar-benar
menyempatkan waktu untuk bertanya serius ke Ibu. Sampai akhirnya Ibu sendiri
yang menanyakannya ke saya, membahas banyak hal yang sudah sering saya bahas
denganmu tapi berakhir dengan saya yang keras kepala. Dear captain, the universe totally stand up for you. Saya jadi tahu
kalau saya salah, kalau kepala saya sekeras batu, kalau kamu butuh kesabaran
ekstra untuk menghadapi saya.
Sampai perlahan-lahan saya berani menumbuhkan
keyakinan, kalau segala kebetulan-kebetulan ini adalah sebenar-benar rencana
Tuhan. Termasuk saat suatu hari kamu minta izin ke orangtua saya untuk
memperkenalkan saya ke keluargamu. Saya nggak berani menatap mata Bapak saat
itu. Saya tahu perasaan Bapak saat itu pasti campur aduk. Seperti diingatkan kembali
bahwa putri pertamanya sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya.
Tapi Bapak, sebagai laki-laki yang paling bertanggungjawab atas putrinya, masih
dalam kondisi sakit dan susah payah untuk melakukan apa-apa.
That day really
we got the moment, much bliss and joy. My sincere gratitude to You, my Lord.
Entah bagaimana saya merasa dimudahkan, kamu mengenal keluarga saya dan
sebaliknya. Hari itu Ibu saya ulangtahun, dan membawa kamu ke depan Ibu untuk
jadi teman ngobrol, teman diskusi, teman curhat, dan lain sebagainya (yang
mungkin saya nggak bisa), bisa jadi adalah kado yang berkesan untuk beliau.
Hehehe.
========================================================================
Banyak “kebetulan-kebetulan” sepele lainnya yang saya
alami. Termasuk saat saya lagi pengen aja kasih breadtalk buat kamu di H-1 ujian pendadaranmu. Ternyata momennya
pas banget untuk meredam rasa lapar sementara, waktu kamu jadi sedikit
emosional karena makan malam tertunda akibat harus benerin kacamata tiba-tiba.
Atau pas banget momennya buat sarapan hari H karena kamu nggak sempet sarapan
nasi akibat banyak keperluan-keperluan
mendadak. Waktu saya kasih sweater
rajut juga gitu, ternyata pas juga sama kamu yang katanya juga lagi mau cari sweater rajut.
Mungkin yang saya rangkum ini kebetulan momen yang
lagi pas-pas aja..mungkin banyak yang nggak pas juga, tapi nggak saya gubris
sema sekali. Hehehe.
I have no
words to say, but I am truly thankful for your courage, kindness, goodness, and
all that you do. Bukan cuma buat saya, tapi juga buat Ibu, Bapak, dan dua
adik perempuan saya. You have touched my
life deeply.
Yogyakarta, H-2 ujian pendadaran.
Deg-degan mau ujian tapi bosan