Garputala akan bergetar manakala menyerap frekuensi yang sama. Dan garputala itu juga akan menggetarkan garputala di sekitarnya, bila ia menangkap gelombang getaran yang identik dengan dirinya. Tetapi bila gelombang yang digetarkan tidak pada frekuensi sama, garputala tersebut tidak bergetar dan juga tidak menggetarkan garputala yang lainnya. Begitu juga dalam hidup ini. Pergaulan kita dengan orang lain, juga menganut hukum seperti itu. Hukum frekuensi yang sama (amarudins.blogspot.com)
X : "Hahahaha, kita emang sefrekuensi.
Kalo gitu namanya jodoh bukan ya?
Y : "Hahahaha. Entahlah. Frekuensi itu
lama-lama bisa disesuaiin gak sih?"
X : "Frekuensi bisa disesuaiin kalo
salah satu ada yang mau menyesuaikan"
Y : "Harus ada yg ngalah berarti?"
X : "Pernah denger, kalo mau berdua
itu harus sama-sama kuat? Bukan yang saling menguatkan?"
Y : "Itu kata bapaknya Saka"
X : "Menurutmu, kamu setuju mana?
Saling menguatkan atau sama-sama kuat?"
Y : "Kuat dan kuat jadinya kuat
kuadrat, jadi kekuatan super. Hahaha. Bedanya apa saling menguatkan sama sama-sama
kuat? Kalo dua-duanya udah kuat juga bisa saling menguatkan"
X : "Kalo dua duanya sama kuat belum
tentu bisa saling menguatkan"
Y : "Maksudnya? Malah jadi pada mau
menang sendiri?"
X : ''Iya. Bisa jadi"
Y : "Itu tergantung kuatnya kayak
gimana"
X : "Karena mereka yang kuat memiliki
ego yang kuat, yang berpikir ke-aku-an yang kuat. Tapi mereka yang lebih kuat
justru mau mengakui kekalahan. Hahahaha"
Y : "Kalo sama-sama mau menang sendiri
itu kelemahan bukan?"
X : " Iya, dalam arti lain"
Y : "Kuat yg baik itu yang sama-sama kuat
dan bisa saling menguatkan"
X : "Aku setuju. Nah, itu dia kunci
buat bisa sefrekuensi. Kadang tiap orang frekuensinya bisa berubah"
Y : "Ah kamu. Sok-sokan setuju aja. Padahal
yang begitu prakteknya susah. Hahahaha. Maksudnya bisa sefrekuensi itu kalo ga
saling menang sendiri gitu? Tapi ada juga orang yang sudah berusaha
menyesuaikan frekuensi, nggak menang sendiri, tapi tetep endingnya gak bisa
sefrekuensi juga"
X : "Hahahaha. Iya prakteknya susah. Kalo
sama-sama berusaha InsyaAllah terasa lebih mudah. Nah, kira-kira kenapa udah
kaya gitu tapi belum bisa sefrekuensi?"
Y : "ya karena...memang nggak bisa. Hahahaha.
Entahlah"
X : "Hahahaha, karena tinggi
frekuensinya terlalu jauh. Kaya nada do sama nada si. Ga bisa ngejar beda
frekuensinya"
Ini tentang frekuensi. Iya. Frekuensi yang
sering disebut-sebut dalam mata pelajaran Fisika di kelas, bab getaran dan
gelombang. Bertahun -tahun lalu saya pernah ngobrol sama teman baik, ala-ala anak
SMA gitu. Katanya orang baik itu belum tentu cocok sama kita, dalam konteks ketika
kamu ingin dekat dengan seseorang. Walaupun begitu, mungkin saja dia cocok dengan
orang lain, atau dengan kata lain, sama kamu nggak nyambung, sama orang lain
nyambung-nyambung aja. Hahaha. In the end
yang saya tangkap pada saat itu adalah yang baik belum tentu cocok sama kamu.
Alasannya saya nggak tahu kenapa.
Tapi sekarang saya tahu jawabannya. Karena tidak satu frekuensi yang sama. Jadi hati
garputala nggak bergetar.
Mungkin nggak senua orang bisa saling menyesuaikan
untuk jadi satu frekuensi. After many
times run then you still have no idea, you often stuck on conversation. Sudah
mencoba tapi tetap tak bisa satu frekuensi, bisa saja terjadi. Hahaha
Terus beberapa waktu lalu, sebenernya udah agak
lama juga sih, saya nemu artikel dengan isi yang mirip-mirip perkara di atas.
Ketika kamu berada dalam frekuensi yang sama
dengan seseorang, akan menjadi lebih mudah bagimu untuk dekat dengan orang tersebut.
Akan muncul rasa cenderung nyaman, begitu sebaliknya.
Sedikit kutipan dari artikel yang ditulis Ustadz
Faris Khairul Anam :
Perhatikan, Nabi tidak mengatakan “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik”. Namun Nabi mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridhai agama dan perangainya”.Apa bedanya?Pernyataan pertama – dan itu tidak diucapkan Nabi – bermakna, orangtua harus menikahkan anaknya dengan lelaki shalih, dan bahwa lelaki shalih itu pasti akan menjadi suami shalih. Namun pernyataan kedua – yang diucapkan Nabi – memberikan pengertian pada kita bahwa orangtua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus ridha terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki shalih, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau yang tampak. (artikel lengkap di sini)
Yang dimaksud dengan lelaki shalih tentunya
kriterianya ya begitu, agamanya baik, akhlaknya baik, dan lain sebagainya. Antara
satu orang dengan yang lainnya nggak akan beda jauh kasih penilaian untuk tanda-tanda
lelaki ini ketika mereka sudah cukup mengenalnya. Tapi, ternyata itu saja nggak
cukup. Katanya lelaki shalih belum tentu menjadi suami shalih. Bergantung bagaimana
ridho terhadap agama dan perangainya, sejauh apa kita bisa menerima segala yang
ada dalam dirinya.
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: Pertama, lelaki shalih. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.Saya tandaskan, seseorang kelihatannya beragama dan berakhlaq baik. Namun ia memiliki beberapa sifat yang tidak cocok bagimu. Sebaliknya, justru ia cocok untuk orang lain, bukan untukmu.Keshalihan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan). Sekali lagi, aspek kedua ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya.
Jadi, sejauh apa kita bisa menerima segala yang
ada dalam dirinya berarti sebenernya melihat tingkat kecocokan tadi. Agak subjektif
sih, karena setiap orang punya karakter sendiri-sendiri, punya pemikiran sendiri-sendiri,
punya frekuensi sendiri-sendiri, yang akhirnya cocoknya sama siapa beda-beda juga.
Hahaha. Mungkin bisa jadi begini hubungannya, frekuensi sama=tingkat kecocokan tinggi=tingkat
toleransi tinggi.
Oh ya, tentang kecocokan pun menurut saya bukan
yang saling punya banyak persamaan. Nggak seru juga kalo pasangan selalu setuju
atau iya-iya aja. Bosen kan, nggak ada bahan yang bisa diributin didiskusikan
untuk dicari jalan tengahnya bersama.
Kecocokan itu yang bisa jadi satu frekuensi
dan saling menyesuaikan, kamu merasa nyaman, tanpa salah satu dari kalian merasa
terbebani. Bahkan ketika beda pendapatpun justru kalian menjadi lebih kuat, karena
satu frekuensi yang sama menjadi lebih mudah untuk saling mengisi kekuatan satu
sama lain *ini kayaknya nggak nyambung, tapi biarin*
Aduh banyak maunya eijke. Iya, memang.
Hahahaha
Beberapa mungkin termasuk tipikal orang yang antipati
sama hal-hal baru, mungkin ragu-ragu, terlalu banyak pertimbangan, banyak ketidakyakinan,
beberapa bilang picky, terlalu banyak
tapi, dan lain sebagainya. Ada hal-hal yang sulit dijelaskan, soal kecocokan. Jadi, hal-hal seperti itu boleh nggak dijawab kalau memang belum nemu yang satu frekuensi?